KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur kehadirat Allah, Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Pemulihan Hak Asasi Manusia dan Optimisme Mantan Narapidana” sebagai tugas mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD).
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Orang Tua atas doa, dorongan dan motivasi sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
2. Bapak Joko Wasisto selaku dosen matakuliah ISBD
3. Teman-teman atas arahan dan koreksi saat penulis kurang teliti.
Penulis masih menerima kritik dan saran dari pihak yang peduli terhadap makalah ini agar menjadi bahan perbaikan dikemudian hari. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin
Semarang, 30 Desember 2011
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia atau biasa disebut HAM adalah hak yang terdapat pada setiap manusia sesuai dengan kodratnya untuk hidup. Berikut adalah definisi tentang HAM menurut para ahli:
· HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia, sesuai dengan kodratnya (Kaelan: 2002).
· Menurut pendapat Jan Materson (dari komisi HAM PBB), dalam Teaching Human Rights, United Nations sebagaimana dikutip Baharuddin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia.
· John Locke menyatakan bahwa HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. (Mansyur Effendi, 1994).
· Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa
“Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Berdasarkan beberapa pengertian HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa ciri pokok HAM yaitu:
· HAM tidak perlu diberikan, dibeli ataupun diwarisi. HAM adalah bagian dari manusia secara kodrati.
· HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, suku, agama, ras, budaya, asal-usul bangsa, dan jenis perbedaan lainnya.
· HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mempunyai HAM walaupun sebuah Negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM (Mansyur Fakih, 2003).
Optimisme atau sikap optimis adalah harapan seseorang di masa yang akan datang. Setiap orang pada dasarnya mempunyai harapan akan dirinya di masa datang.
Goleman (2002) mengatakan bahwa:
“Optimisme adalah harapan kuat terhadap segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan akan mampu teratasi dengan baik, walaupun ditimpa banyak masalah dan rasa frustasi. Optimisme merupakan sikap yang menopang individu agar jangan sampai jatuh ke dalam depresi dan keputusasaan ketika individu mengalami kesulitan.”
Kekuatan rasa dan sikap optimis setiap individu berbeda-beda, ada yang kuat dan ada yang lemah. Menurut Ginnis (1990) adalah orang yang merasa yakin bahwa dirinya mempunyai kekuatan untuk mengendalikan dunia mereka. Rasa optimis merupakan paduan antara dorongan baik fisik maupun psikis dalam mempertahankan serta mengembangkan diri pada setiap proses perkembangan manusia.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulakn bahwa optimisme merupakan sikap dan bentuk harapan yang positif dalam menghadapi segala hal di masa yang akan datang dengan penuh keyakinan untuk mencapai tujuan hidup yang diinginkan.
Di masyarakat telah berkembang sebutan untuk tahanan tindak pidana, yaitu narapidana. Secara garis besar narapidana adalah orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 pengertian narapidana yaitu terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mantan narapidana adalah terpidana yang telah menjalani hukuman dan keluar dari penjara serta kembali ke kehidupan alaminya di masyarakat.
BAB II
PERMASALAHAN
Masalah tindak pidana atau perilaku kriminal selalu menjadi bahan yang menarik untuk dibahas dan diperbincangkan. Masalah ini merupakan masalah sensitif yang menyangkut masalah-masalah peraturan sosial, moral, etika dalam masyarakat, seta aturan-aturan dalam agama. Tindak pidana oleh banyak orang dianggap sebagai suatu kegiatan anti sosial, yang menyimpang dari moral, dan norma-norma di dalam masyarakat serta melanggar aturan-aturan agama (Susilo, 1971).
Kehidupan mantan narapidana setelah keluar dari penjara tidak serta merta berjalan mulus. Dia harus meyakinkan kepada orang-orang di sekelilingnya jika ia memang ingin berubah ke arah yang lebih baik. Tapi hal tersebut tidak akan mudah diterima begitu saja. Sebagai contoh kasus Sammy Simorangkir, vokalis band Kerispatih yang telah terjerat kasus narkoba dan harus mendekam di penjara. Saat masa tahanannya telah habis dan keluar dari penjara, ia harus menerima kenyataan bahwa ia telah dikeluarkan dari keanggotaan band yang telah ia bangun bersama dengan anggota lainnya.
Contoh hal seperti ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kondisi kejiwaan serta rasa optimisme untuk menjalani hidup kembali setelah keluar dari penjara. Selain itu pengucilan oleh masyarakat tentunya akan berdampak pada hal-hal lain dan kegiatan apa saja yang dia lakukan cenderung tidak dipedulikan dan dianggap sebagai aib masyarakat.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Penyebab Permasalahan
Perlakuan terhadap mantan napi yang tidak adil sesungguhnya merupakan bentuk kemunafikan dari struktur sosial (politik). Sebab manusia adalah mahluk yang diciptakan oleh Allah Tuhan YME, sebagai makhluk yang dapat berbuat dosa dan kesalahan. Dari berbagai penelitian ditemukan bahwa tidak ada satu orang pun yang belum pernah melakukan perbuatan dosa dan kesalahan, termasuk pelanggaran hukum pidana.
Namun demikian sebagian besar dari warga masyarakat tersebut beruntung karena tindakan kesalahan atau pelanggaran hukumnya tidak pernah diketahui oleh sistem peradilan pidana. Hanya sebagian kecil saja warga masyarakat yang tidak beruntung, yang ketika melakukan pelanggaran hukum pidana diketahui oleh sistem peradilan pidana dan tidak mampu menghindari hukuman. Mereka ini terpaksa menjalani hukuman dan diberi label narapidana.
Pada saat ini masyarakat masih mempunyai pandangan yang negatif terhadap sosok mantan narapidana. Mantan narapidana yang sudah bebas dianggap sebagai pembuat onar dan kejahatan yang mengganggu keamanan masyarakat sehingga patut diwaspadai. Hal ini terjadi karena di masyarakat sudah membentuk opini bahwa mantan narapidana merupakan aib masyarakat, seperti kata pepatah “Sekali lancung ke ujian seumur hidup tak akan dipercaya” (Rahmawati, 2004).
Proses sosialisasi mantan narapidana dari lembaga pemasyarakatan menuju masayarakat yang sesungguhnya sangat sulit dilakukan karena adanya pandangan tersebut. Padahal peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam proses sosialisasi seorang mantan narapidana. Banyak narapidana yang telah bebas kehilangan jati diri mereka yang ditandai dengan sikap tertutup, acuh tak acuh, dan anti sosial (Susilo, 1971).
III.2 Dampak Permasalahan
Mantan narapidana sering kesulitan kembali ke tengah masyarakat. Sikap penolakan seperti mengucilkan terhadap para mantan narapidana sering membuat mereka diperlakukan tidak manusiawi dan seperti kehilangan hak asasi mereka sebagai manusia.
Harga dan kepercayaan diri narapidana setelah bebas biasanya menjadi rendah. Hal ini disebabkan sikap pesimis dari mantan napi tersebut apakah masyarakat bisa menerima kehadiran mereka kembali atau tidak. Selain itu hal ini memang bersumber dari penolakan masyarakat yang cenderung menolak kehadiram mereka dalam kehidupan normal.
Persoalan stigma atau pandangan negatif terhadap mantan narapidana juga menyebabkan banyak perusahaan tidak mau menerima mereka sebagai pegawainya.
Filosofi pembinaan pelanggar hukum yang dianut oleh Indonesia adalah mengintegrasikan kembali pelaku pelanggar hukum ke masyarakat, atau lebih dikenal sebagai pemasyarakatan. Akan tetapi dalam kenyataannya, mantan narapidana justru dihambat untuk dapat berintegrasi dan berinteraksi kembali dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. Banyak peraturan perundangan dan kebijakan yang dibuat justru untuk menghambat integrasi dan sosialisasi mantan narapidana dengan masyarakat.
Dengan demikian maka filosofi pemasyarakatan narapidana hanya sekedar slogan kosong, yang dalam realitas menghasilkan pelaku pelanggar ulang, yang bolak-balik kembali ke penjara. Masyarakat dan struktur sosial (politik) telah melakukan stigmatisasi kepada mantan narapidana yang sesungguhnya tidak selaras dengan hak asasi manusia. Masyarakat akan cenderung mengucilkan mantan narapidana yang berusaha kembali ke masyakat.
III.3 Solusi
Pemberian label negatif oleh masyarakat terhadap bekas narapidana bahwa mereka adalah orang jahat yang menjadi sampah masyarakat memunculkan harapan para mantan napi untuk mendapatkan kembali hak asasinya kembali sebagai manusia di dalam kehidupan. Salah satu bentuk harapan tersebut yaitu berdirinya Persatuan Napi Seluruh Indonesia pada tanggal 17 September 2006 di Cipinang yang bertujuan memperjuangkan hak-hak mantan narapidana (Junaidi, 2003).
Aksi diatas merupakan bentuk solidaritas dari para mantan narapidana karena mereka merasa hak-hak mereka sebagai manusia seperti hilang setelah mereka melakukan kejahatan dan berusaha kembali ke masyarakat. Namun hal tersebut tentunya sangat membantu khususnya psikologi serta rasa optimis untuk kembali mengarungi hidup. Mantan narapidana yang telah sukses dalam hidupnya dan bisa memulihkan kembali kepercayaan masyarakat di lingkungan tempat ia tinggal bisa menjadi contoh dan teladan bagi mantan napi lain serta menjadi motivasi untuk terus berbuat baik.
Selain itu yang perlu diubah adalah pandangan masyarakat tentang mantan narapidana tersebut. Masyarakat harus bisa diyakinkan bahwa tidak semua mantan narapidana mempunyai tabiat buruk. Peran anggota keluarga serta sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan serta memberi motivasi. Perangkat pemerintah di masyarakat juga penting untuk meyakinkan dan memberi perlindungan, serta berfungsi sebagai jembatan antara mantan napi dan masyarakat. Tentunya hal ini membutuhkan koordinasi serta peran masing-masing pihak diatas dan tentunya tidak lupa optimisme dari mantan narapidana itu sendiri untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Kehidupan mantan narapidana tidak selalu berjalan mulus. Banyak mantan napi yang berusaha untuk kembali ke masyarakat malah dianggap sebagai aib masyarakat di lingkungan tempat ia tinggal. Hal tersebut kare stigma negatif yang ada di masyarakat bahwa seseorang yang salah selamanya akan selalu salah. Hal ini tentunya mengganggu hak asasi mereka sebagai manusia yang tentunya juga ingin hidup bermasyarakat karena pada intinya manusia tidak bisa hidup tanpa orang lain.
Mantan napi juga akan mengalami krisis kepercayaan diri tentang bagaimana hidupnya nanti setelah ia keluar dari penjara. Hal ini tentunya peran lembaga pemasyarakatan sebagai pihak yang berwenang dalam menangani narapidana.
Teladan dari mantan narapidana lain yang sukses serta dapat mengubah cara pandang masyarakat bisa dijadikan optimisme oleh sseorang mantan napi untuk bisa menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya. Tentunya dukungan keluarga, peran perangkat masyarakat, serta yang paling penting motivasi dan rasa optimis dari mantan narapidana tersebut agar masyarakat menerima kehadiran mereka serta menghargai hak asasi mereka sebagai manusia.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/50779627/8/B-Pengertian-Narapidana. Diunduh Rabu, 28 Desember 2011.
http://externalnapi.blogspot.com/2009/04/pemulihan-hak-hak-sipil-mantan-napi.html. Diunduh Rabu, 28 Desember 2011.
http://zashare.wordpress.com/2011/11/07/kontroversi-kehidupan-mantan-narapidana/. Diunduh Rabu, 28 Desember 2011.
http://www.ciputraentrepreneurship.com/entrepreneur/internasional/sosial/12871-susan-burton-tingkatkan-kualitas-hidup-mantan-napi.html. Diunduh Rabu, 28 Desember 2011.
Shofia, Fatiku. 2009. “Optimisme Masa Depan Narapidana,” Skripsi S-1 Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Windari, Rusmirawati. 2010. “ Perlindungan HAM bagi narapidana di Indonesia”, dalam Google. http://rusmilawati.wordpress.com/. Diunduh Rabu, 28 Desember 2011.
0 komentar:
Posting Komentar